Pengertian Nikah
|
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Sebagai
salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang
mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan
syariat.
Nikah
sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya
menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu
akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
Adapun
pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan
seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si
wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat
nikah.
Akad nikah
merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا
غَلِيظًا
“Dan
mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang
kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini
mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung
dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.”
(Al-Ma`idah: 1)
[Al-Minhaj
Syarhu Shahih Muslim, 9/175-176, Fathul Bari, 9/130, Adz-Dzakhirah, 4/188-189,
At-Ta’rifat Lil Jurjani, hal. 237, Asy-Syarhul Mumti’, 12/5, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/274]
Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya
|
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian
senangi.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ
فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum
menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan
budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka
Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur:
32)
Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan,
ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang
telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060
dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu)
Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam
Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl
Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al- Kitabu was-Sunnah wal
Ijma’.
Penetapan syariat banyak memberikan hasungan untuk
melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang
agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan,
masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak
mafsadat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda
memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi
subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian
di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i
rahimahullahu dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/189)
Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu:
“Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata,
“Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak
istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Seandainya
tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku
memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf, 4/128)
Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan
yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:
1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan
perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal
dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang
dengan ini akan merusak masyarakat manusia.
2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena
dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi
pendahulunya.
3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah
hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang beriman, yang dengannya dapat
mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membanggakan
banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir
dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di
samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan
alam ini.
4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan
rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah
dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan
keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada
beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada
ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan
seseorang).
5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah
dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan
teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan hal ini dalam
firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia
menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian
merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian.
Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau
berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak
dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman
atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ
النِّكَاحِ
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara
dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena
pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no.
624)
6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan
berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana
keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si
suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia
bekerja untuk menafkahi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita
dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang
lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari
harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik
anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah
keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al- Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274,
Taudhihul Ahkam, 5/210)
Hukum Nikah
|
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Fuqaha
menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi
dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah
atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal
menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan
riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang
mengatakan wajib.
Nikah ini
merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا
لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Sungguh
Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka
istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin
Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki
syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan
tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR.
Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
Bagi
seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila
tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya
yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum
nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan
zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya
kecuali dengan nikah.
Hukumnya
mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah
baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang
tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya
kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang
pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua
atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia
punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada
istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram
hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara- perkara yang
berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan
semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini,
akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan
melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram pula
bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun
dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً
“Maka
apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu
istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`:
3)
[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524,
Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin
Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al- Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy
Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)
Berikut
ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab [Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah,
Hanabilah, dan Zhahiriyyah] tentang hukum nikah:
Ibnu
Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama
daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada
mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul
Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)
Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang-
orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan
menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan
ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah
afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal,
karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah
nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri
sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat
membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih
maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan
kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi
kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits:
: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang
telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060
dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu) (Adz-Dzakhirah,
4/190)
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk
menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia
mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab
baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah
lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah
tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’
17/203)
Ibnu
Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah
disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum
wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali
bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila
ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini
merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl
fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)
Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang
mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak
agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa
mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia
memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)
Tujuan
Menikah
|
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan
untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada
hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut
ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang
telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi
subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian
di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya,
menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman:
‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang
beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji
orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka
kecuali kepada apa yang dihalalkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى
أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ
مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu`minun:
5-6)
Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan
(dari melihat yang haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),”
juga terkandung tujuan nikah.