Bismillahirrahmaanirrahiim
Sejarah Penyusunan Al Qur’an
( Jam’ul Qur’an )
Pengertian Jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al Qur’an )
Empat Fase Kodifikasi Al Qur’an :
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Rasulullah :
1. Kodifikasi Al Qur’an dengan hafalan
2. Kodifikasi Al Qur’an dengan tulisan
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Abu Bakar As Shiddiq
2. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Umar bin Khattab
3. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Utsman bin Affan
Perbedaan Fase Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ,Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra.
1. Pengertian Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an )
Kalimat Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al
Qur’an ) yang di dalam bahasa Indonesia akhirnya memiliki istilah
khusus, yaitu Kodifikasi[1] Al Qur’an, di artikan oleh para Ulama dengan dua makna :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan menjaganya atau menghafalnya di dalam hati. Pemngumpulan Al Qur’an ini di simpan di dalam hati
2. Jam’ul Qur’an di artikan sebagai
penulisan Al Qur’an secara keseluruhan, baik secara huruf, surat dan
sistematika ayat-ayatnya. Pengumpulan Al Qur’an ini disimpan di dalam
mushaf.[2]
2. Empat Fase Penyusunan Al Qur’an
Untuk menjadi sebuah mushaf, Al Qur’an
memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun
waktu yang relative panjang dari zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam hingga zaman Khalifah Ustman Bin Affan. Mushaf adalah Al Qur’an
hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah di bentuk oleh
Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam.
Proses kodifikasi atau pembukuan Al Qur’an di lakukan melalui
penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga
menjadi mushaf Al Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua proses ini
merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab
suci Al Qur’an. Penyusunan Al Qur’an melewati empat fase menurut
zamannya :
1. Fase Pertama adalah Pengumpulan Al Qur’an pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada masa ini Al Qur’an di kumpulkan dengan dua cara :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan hafalan
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam, pengamanan dan pelestarian Al Qur’an pertama diakukan dengan
menghapalnya. Cara seperti ini umum dilakukan orang Arab dalam upaya
menjaga dan melestarikan karya-karya sastra mereka. Cara paling lazim
dalam menjaga Al Qur’an pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
sahabatnya ialah hapalan. ( Al Jam’u Fi As Sudur ). Ini
dilakukan disamping banyaknya sahabat yang buta huruf ( ummy ), juga
hapalan orang Arab ketika itu yang terkenal sangat kuat.
Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah orang yang pertama kali menghapal Al Qur’an dan para sahabat
mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al
Qur’an.
Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa
nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan oleh Rasulullah
sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu,
beliau langsung mengingat dan menghapal serta menyampaikannya kepada
kepada para sahabat. Lalu sahabat langsung menghapalnya dan
menyampaikannya kepada keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya
itu, mereka para sahabat langsung mempraktekkan perintah yang datang
dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa kita lihat pada ayat tentang
turunnya hijab.
Dalam menerima wahyu yang berupa Al
Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat bersemangat untuk
segera menghapalnya. Suatu ketika beliau pernah menggerakkan bibir dan
lidahnya untuk membaca Al Qur’an tatkala wahyu turun kepadanya sebelum
malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya keras untuk
menghapalnya. Dari kejadian ini turunlah ayat QS. Al Qiyamah 75 : 16-19 )
:
“16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.[3]
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. Apabila kami Telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. 19. Kemudian, Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman :
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang
sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an
sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya
Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” ( QS. Thaha, 20 : 114 )
2. Pengumpulan Al Qur’an dengan tulisan
Penulisan Al Qur’an pada zaman Nabi
Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah dikenal secara umum. Rasulullah
Sallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki beberapa sekretaris penulis Al
Qur’an dari golongan sahabantnya, antara lain Abu Bakar As Siddhiq, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi
Sofyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin
Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Ab Musa Al Asy’ari dan Abu Darda’.
Apabila turun ayat-ayat Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyuruh mereka untuk menulisnya, dan mengarahkan mereka letak dan
sistematik peletakan surat-suratnya, lalu mereka menulis wahyu tersebut
di atas kepingan tulang-belulang, pelepah korma, lempengan batu, di atas
kulit bahkan di atas pelana kuda.
Gambaran nyatanya bisa kita saksikan dari kisah Ibnu Abbas. Beliau berkata :
“Dahulu, apabila turun surat ( Al Qur’an
), beliau memanggil beberapa orang untuk menulisnya. Rasulullah bersabda
:”Letakkanlah surat ini, di tempat yang disebutkan di dalamnya ini dan
ini…
Dari Zaid bin Tsabit ia berkata :”Dahulu
kami berada disisi Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyusun Al
Qur’an di atas kulit binatang”.
Keterangan :
Pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam, penulisan Al Qur’an telah rampung dan tertulis seleuruhnya,
hanya saja ayat-ayat dan suratnya masih terpisah. Penulisannya pun
mencakup tujuh qira’ah sebagaimana Al Qur’an turun. Di antara para
sahabat ada yang mengumpulkan, menulis dan menghafalnya. Pada waktu itu
pula Al Qur’an belum sempat di kumpulkan menjadi sebuah mushaf. Sekarang
pertanyaannya….
Mengapa pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Qur’an tidak di bukukan menjadi mushaf ?
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam belum ada upaya untuk melakukan unifikasi atau kodifikasi Al
Qur’an. Hal itu di karenakan beberapa faktor :
1. Al Qur’an tdak di bukukan pada zaman
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam karena belum ada kebutuhan yang
mendesak untuk melakukan upaya itu. Berbeda pada zaman Khalifah Abu
Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra, upaya untuk
melakukan pembukuan dan penggandaan Al Qur’an sangatlah mendesak.
Disampng itu dari segi teknis, alat tulis-menulis ketika itu masih sulit
di dapatkan, sehingga tidak heran kalau mereka menggunakan alat apa
adanya seperti pelepah daun korma, lempengan batu, pecahan telang, kulit
binatang dsb sebagai cara menjaga kelestarian Al Qur’an.
2. Al Qur’an tidak turun hanya sekali.
Akan tetapi Al Qur’an turun secara berangsur-angsur selama lebih dari
dua puluh tahun. Jikalau pengumpulan Al Qur’an dilakukan dan wahyu masih
terus turun, maka yang akan terjadi mushaf tersebut tidak mencakup
seluruh Al Qur’an.
3. Sistematika peletakan ayat dan surat
tidak sesuai dengan sebab turunnya ayat tersebut. Dan kita semua tahu
jikalau Al Qur’an di kumpulkan menjadi mushaf, sedangkan factor-faktor
di atas masih saja berlingsung, maka mushaf yang telah terkumpulkan tadi
jelas akan terjadi perobahan dan penyelewangan.
2. Fase Kedua adalah Kodifikasi Al Qur’an pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam meninggal, Abu Bakar As Shiddiq terpilih menjadi Khalifah dan
pemimpin kaum muslimin. Pada masa kekhilafahannya, banyak terjadi
kekacauan dan peristiwa yang di timbulkan oleh orang-orang murtad,
pengikut nabi palsu Musailamah Al Kadzab. Kondisi inil mengakibatkan
terjadinya perang Yamamah yang terjadi pada tanggal 12 H. dalam
pertempuran itu, banyak sekali sahabat pembaca dan penghapal Al Qur’an
yang gugur di medan perang. Data yang tercatat ,enunjukkan 70 sahabat
dari para penghapal Al Qur’an. Riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa
jumlah sahabat yang gugur di medan perang sebnayka 500 sahabat.
Peristiwa tersebut menggugah hati Umar
bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq agar Al
Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah kitab yang nantinya
dinamakan dengan mushaf. Usulan ini disampaikan karena beliau merasa
cemas dan khawatir bahwa Al Qur’an sedikit demi sedikit akan musnah
bila hanya mengandalkan hapalan, apalagi para penghapal Al Qur’an
semakin berkurang dengan banyaknya mereka yang gugur di medan perang.
Semula Khalifah Abu Bakar merasa ragu
untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu, sebab Rasulullah Sallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan Al
Qur’an kepada kaum muslimin. Sehingga suatu saat Allah membukakan hati
Abu Bakar dan menerima gagasan itu setelah betul-betul mempertimbangkan
kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar ra tahu bahwa dengan mengumpulkan Al
Qur’an sebagaimana yang diusulkan oleh Umar bin Khattab sarana yang
sangat penting untuk menjaga kitab suci Al Qur’an dari kemusnahan,
perobahan dan penyelewengan.
Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa
perbuatan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan mengumpulkan Al Qur’an bukanlah
perkara bid’ah yang menyesatkan. Akan tetapi perbuatan ini berasarkan
dari kaedah yang diletakkan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam di
dalam penulisan Al Qur’an semasa hidupnya. Al Imam Abu Abdillah Al
Muhasibi berkata di dalam kitabnya ( Fahmu As Sunan ) :
“Penulisan Al Qur’an bukanlah perbuatan
bid’ah, karena Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan
untuk menulisnya. Akan tetapi ketika itu masih tercecer dan terpisah di
atas kulit binatang, tulang an pelepah daun korma. Perintah Ash Shiddiq
tidak lain hanyalah memindah dari tempat ke tempat lain untuk di
kumpulkan. Di antaranya kumpulan kertas berupa Al Qr’an yang terdapat di
dalam rumah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kertas-kertas
tersebut di kumpulkan dan diikat dengan tali supaya tidak hilang”.
Ketika itu juga Abu Bakar Ash Shiddiq
mengumumkan kepada kaum muslimin untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam satu
mushaf. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengepalai
proyek ini, dikarenakan kapabelitas dan kemampuannya yang mumpuni, baik
bacaan, tulisan, pemahaman disamping itu, umur beliau masih muda.
Sebagaimana halnya dengan Abu Bakar
dahulu, Zaid bin Tsabit pada awalnya menolak perintah Abu Bakar ra
tersebut. Kemudian timbullah diskusi panjang antara Abu Bakar ra dan
Zaid bin Tsabit hingga beliau menerima permintaan Abu bakar Ash Shiddiq.
Diskusi antara Zaid bin Tsabit dan Abu bakar Ash Shiddiq termaktub di dalam kitab Shahih Bukhari. Zaid bin Tsabit berkata :
“Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah[4].
Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata :”Umar telah datang
kepadaku dan mengatakan,bahwa perang di Yamamah menelan banyak korban
dari kalangan penghapal Al Qur’an. Dan ia khawatir kalau-kalau
terbunuhnya para penghapAl Qur’an itu juga akan terjadi tempat lainnya,
sehingga banyak dari akan hilang. Ia memerintahkan aku agar menyuruh
seseorang untuk mengmpulkan Al Qur’an. Maka aku katakana kepada Umar,
bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? tetpai Umar menjawab dan ia
bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus-menerus
mengatakan seperti itu sehingga Allah membukakan hatiku untuk
menerimausulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar”. Zaid
berkata lagi :”Abu bakar berkata kepadaku :”Engkau seorang pemuda yang
cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan
wahyu untuk Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu
carilah Al Qur’an dan kumpulkanlah”. Kata Zaid lebih lanjut :”Demi
Allah, sekirangnya mereka memintaku untuk meminahkan gunung, rasanya
lebih ringan bagiku daripada memintaku untuk mengumpulkan Al Qur’an”.
Karena itu aku menjawab :”Mengapa anda berdua inin melakukan sesuatu
yang tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ?
Abu Bakar menjawab :”Demi Allah, itu perbuatan baik”. Abu bakar
terus-menerus menyemangatiku sehingga Allah membukakan hatiku
senbagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun
mulai mencari Al Qur’an . kukumpulkan Al Qur’an dari pelepah kurma,
kepingan-kepingan batu dan dari hapalan para penghapal Al Qur’an. Sampai
akhirnya aku mendapatkan akhir surat At Taubah berada pada Khuzaimah al
Anshati, yang tidak dapat kudapatkan dari orang lain.
“Sungguh Telah datang kepadamu seorang
Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. ( QS. At Taubah : 128 )
Hingga akhir surat. Lembara-lembaran (
hasil kerjaku ) tersebut, kemudian di simpan di tangan Abu Bakar hinga
wafatnya. Sesudah itu berpindah tangan kepada Umar sewaktu masih hidup,
dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar”. ( HR. Bukhari )
Undang-Undang Abu Bakar Dalam Penulisan Mushaf
Zaid bib Tsabit mengumpulkan Al Qur’an
tersebut sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang di letakkan oleh
Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaid bin Tsabit tidak mencukupkan diri
dengan hapalan di luar kepala, dengan apa yang ia tulis dan dengan apa
yang ia dengar. Bahkan di dalam pengumpulan Al Qur’an ia berpatokan
dengan dua sumber :
1. Al Qur’an yang di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
2. Hapalan para penghapal Al Qur’an.
Ia sangat teliti dan hati-hati di dalam
penulisannya. Bahkan ia tidak menerima apa yang tertulis kecuali dengan
dua orang saksi adil yang melihatnya bahwa tulisan ini di tulis di
hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hal ini berdasakan dari riwayat Yahya bin
Abdurrahman bin Hathib ia berkata : Umar datang dan berkata
:”Barangsiapa yang mendapatkan Al Qur’an dari rasulullah Sallahu ‘Alaihi
wa Sallamhendaknya ia sampaikan. Mereka menuliskannya dalam lembaran
dan pelepah, dan ia tdak menerima periwayatan seseorang sampai ada dua
orang saksi yang menerimanya”. ( HR. Abu Daud )
Dalam riwayat lainnya, dari Hisyam bin
Urwah, dari ayahnya bahwa Abu baker berkata kepada Umar dan Zaid
:”Duduklah kalian berdua dipintu masjid. Apabila ada yang datang kepada
kalian dengan membawa dua orang saksi atas sesuatu dari Kitab Allah,
maka tulislah !”. ( HR. Abu Daud )
Ibnu hajar berkata :”Yang di maksud
dengan dua saksi ini adalah : Hapalan dan Tulisan”. Sedangkan As Sakhawi
berkata di dalam kitab ( Jamalul Qurra’) :”Maksudnya ialah dua orang
saksi atas tulisan yang tertulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi
wa Sallam.
Kesimpulan
Kodifikasi yang di lakukan atas perintah
Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seluruh ayat Al Qur’an di kumpulkan dan di
tulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang
sangat detail, teliti dan cermat. Para ulama berpendapat bahwa
penyebutan Al Qur’an dengan mushaf mulai berlaku sejak zaman Abu Bakar
Ash Shiddiq.
Ali bin Abi Thalib ra berkata :
“Orang yang mendapatkan pahala paling
besar di dalam ( pengumpulan ) mushaf adalah Abu Bakar. Kesejahteraan
Allah ata Abu Bakar. Dialah orang pertama kali yang mengumpulkan Al
Qur’an”.
3. Fase Ketiga adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Umar bin Khattab
Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, ia
menyerahkan mushaf tersebut kepada Umar bin Khattab. Mushaf tersebut
terjaga di tangan dengan sangat ketat di bawah tangung jawab Umar bin
Khattab selaku Khalifah kedua pengganti Abu Bakar ra.
Pada masa Umar bin Khattab ra, mushaf
tersebut diperintahkan untuk di salin kembali ke dalam lembaran (
shahifah ) yang lebih baik. Umar bin Khattab tidak lagi menggandakan
lembaran tersebut karena memang hanya untuk di jadikan sebagai naskah
orisinil ( master ), bukan sebagai bahan hapalan. Setelah seluruh
rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah
bin Umar, anak beliau selaku istri Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Fase ini sering sekali tidak mendapat
perhatian dari pakar ilmu Al Qur’an, kekosongan ini akan membuka peluang
baru bagi para orientalis untuk mencari celah dimana mereka dapat
menyisipkan tujuan-tujuan negatif. Maka pada saat ini, sebaiknya di
sebutkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, Jam’ul Qur’an tetap ada dalam
arti menggunakanya di waktu shalat jama’ah, taraweh dan dirumah-rumah
sahabat.
4. Fase Keempat adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab
meninggal dunia, banyak pula para sahabat, mujahidin, dan huffadh
meninggal dunia. Perang Adzerbaijan dan Armenia yang terjadi pada tahun
24 H, banyak menelan korban. Sejarawan At Thabari meriwayatkan bahwa ada
sekitar 10.000 orang yang ikut di dalam pertempuran tersebut. Hal ini
menjadikan fikiran bagi khalifah Utsman bin Affan sebagai penerusnya.
Beliau khawatir dengan banyaknya sahabat yang meninggal dunia, maka akan
semakin sedikit orang-orang yang hapal Al Qur’an
Sementara itu, agama Islam semakin meluas
ke Negara-negara yang di kuasai oleg Romawi dan Persia di zaman Umar.
Pada zaman Utsman bin Affan dunia Islam mengalami banya kemajuan dan
perkembangan.. Mengingat wilayah penyebaran Islam sudah sedemikian luas
di luar Jazairah Arab. Kebutuhan umat untuk mengkaji Al Qur’an pun
semakin meningkat. Banyak ahli qira’ah dan penghapal Al Qur’an mulai
terpencar dibeberapa kota dan berbagai propinsi untuk menjadi imam,
seklaigus ulama, bertugas mengajar dan mendidik umat. Dari sini,
mulailah terasa adanya perbedaan bacaan Al Qur’an. Sedangkan para ahli
bacaan tentu mengajarkan Al Qur’an sesuai dengan bacaan yang diberikan
oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.
Umat Islam yang tersebar dalam wilayah
yang demikian luas itu mendapat pelajaran dan menerima bacaan Al Qur’an (
qiraat ) dari setiap sahabat yang ditugaskan di daerah. Penduduk Syiria
misalnya memperoleh pelajaran dan qiraah dari sahabat Ubay bin ka’ab
ra. Penduduk Kufah, Irak, berguru kepada sahabat Abu Musa Al Asy’ary.
Versi qiraah yang dimiliki dan di ajarkan oleh satiap sahabat yang ahli
qira’ah itu berlainan satu sama lain. Keadaan ini ktika itu tentu saja
menimbulkan dampak negative di kalangan kaum muslimin. Di antara mereka
ada yang saling membanggakan versi qira’ahnya dan merendahkan yang lain.
Mereka mengklaim bahwa versi qira’ahnya yang paling benar. Situasi
seperti ini mencemaskan Khalifah Utsman ibn Affan. Karena itu ia segera
mengundang para sahabat penghapal Al Qur’an untuk memecah permasalah
tersebut. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa mushaf yang ditulis pada
masa Abu baker harus disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Lalu
mushaf hasil salinan tersebut di kirimkan ke berbagai kota atau daerah
untuk di jadikan rujukan utama kaum muslimin ketika menemui masalah
dalam bacaan Al Qur’an.
Inisiatif Utsman bin Affan untuk segera
membukukan dan menggandakan Al Qur’an muncul setelah ada usulan dari
Khuzaifah al Yamani. Kemudian Khalaifah Utsman bin Affan mengirim
sepucuk surat yang isinya meminta agar Hafshah mengirim mushaf yang
disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa naskah. Setelah itu
Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, said
bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk bekerjasama menggandakan Al
Qur’anutsman bin Affan berpesan bahwa “Jika terjadi perbedaan di antara
kalian mengenai Al Qur’an, tulislah menurut dialek Quraisy, karena Al
Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Setelah tim tersebut berhasil
menyelesaikan tugasnya, Khalifah Utsman bin Affan mengembalikan mushaf
orisinil ( master ) kepada Hafshah. Kemudian, beberapa mushaf hasil
kerja tim tersebut di kirimkan ke berbagai kota, sementara
mushaf-mushaf lainnya yang masih ada saat itu , Khalifah Utsman bin
Affan memerintahkan untuk segera di baker. Pembakaran mushaf ini di
lakukan untuk mencegah terjadinya pertikaiandi kalangan umat karena
setiap mushaf yang di baker mempunyai kekhususan. Para sahabat penulis
wahyu pda masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak terikat oleh
ketentuan penulisan yang seragam dan baku, sehingga perbedaan antara
koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada
yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan
penjelasan-penjelasan dari Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam atau sahabat
senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali dengan
pasti mana ayat dan mana penjelsan ayat, misalnya dengan membubuhi
kode-kode tertentu yang mungkin hanya di ketahui oleh yang bersangkutan.
Perbedaan Antara Empat Fase Pengumpulan Al Qur’an
1. Pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa
Sallam, penulisan Al Qur’an dilakukan ketika wahyu Al Qur’an di turunkan
dengan menyusun urutan ayat-ayat dalam surat-surat tertentu sesuai
dengan petunjuk Nabi. Ayat-ayat tersebut di tulis secara terpisah pada
kepingan-kepingan tulang, pelepah daun korma dsb.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar, motivasi
pengumpulan Al Qur’an pada zaman ini ialah upaya memelihara Al Qur’an
dari kepunahannya dengan wafatnya orang-orang yang membaca dan
menghapalnya. Penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali
catatan-catatan Al Qur’an menjadi sebuah mushaf. Tertib suratnya menurut
turunnya wahyu.
3. Pada Masa Khlaifah Umar bin Khattab,
pada masa ini bisa di bilang tidak ada penulisan ulang yang di lakukan
oleh Umar bin Khattab. Namun sekalipun demikian beliau sangat
bertanggung jawab dalam penyimpanan Mushaf yang telah selesai di
kumpulkan pada zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
4. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan
ra motivasi untuk mengumpulkan Al Qur’an ialah banyaknya perbedaan
bacaan Al Qur’an yang meluas ke segenap penjuru negeri dan telah
mengakibatkan perselisihan sengit antar kaum muslimin. Lebih parah lagi
mereka saling menyalahkan satu sama lain, maka Khlaifah khawatir adakn
terjadi pertumpahan darah yang lebih besar., beliau memerintahkan untuk
menhulis Al Qur’an dalam sat mushaf dengan tertib ayat dan suratnya
seperti yag ada sekarang ini. Beliau mengambil jalan tengah untuk
menulis Al Qur’an dengan dialek bahas Qurasy dengan alas an bahwa Al
Qur’an di turunkan dengan bahasa mereka, meskipun tujuh bacaan ini
terdiri dari beberapa bahasa.
copyright and Courtesy of Imam Hasanuddin
[1] . Kodifikasi berarti penetapan undang-undang secara tertulis ; pembukuan hukum.
[2] . Abdul Adhim Az Zurqani, Juz 1 hal. 203
[3]
. Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan
Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai
membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami
betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[4] . Yaitu sebelum kematian 70 para penghapal Al Qur’an.