Rabu, Februari 13, 2013

Sejarah Pengumpulan / Kodifikasi Al-Qur'an

Bismillahirrahmaanirrahiim
Sejarah Penyusunan Al Qur’an
( Jam’ul Qur’an )

Pengertian Jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al Qur’an )
Empat Fase Kodifikasi Al Qur’an :
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Rasulullah :
1. Kodifikasi Al Qur’an dengan hafalan
2. Kodifikasi Al Qur’an dengan tulisan
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Abu Bakar As Shiddiq
2. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Umar bin Khattab
3. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Utsman bin Affan
Perbedaan Fase Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ,Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra.

1. Pengertian Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an )
Kalimat Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an ) yang di dalam bahasa Indonesia akhirnya memiliki istilah khusus, yaitu Kodifikasi[1] Al Qur’an, di artikan oleh para Ulama dengan dua makna :
1.  Pengumpulan Al Qur’an dengan menjaganya atau menghafalnya di dalam hati. Pemngumpulan Al Qur’an ini di simpan di dalam hati
2. Jam’ul Qur’an di artikan sebagai penulisan Al Qur’an secara keseluruhan, baik secara huruf, surat dan sistematika ayat-ayatnya. Pengumpulan Al Qur’an ini disimpan di dalam mushaf.[2]

2. Empat Fase Penyusunan Al Qur’an
Untuk menjadi sebuah mushaf, Al Qur’an memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relative panjang dari zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga zaman Khalifah Ustman Bin Affan. Mushaf adalah Al Qur’an hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah di bentuk oleh Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam. Proses kodifikasi atau pembukuan Al Qur’an di lakukan melalui penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf Al Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua proses ini merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab suci Al Qur’an. Penyusunan Al Qur’an melewati empat fase menurut zamannya :
1. Fase Pertama adalah Pengumpulan Al Qur’an pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada masa ini Al Qur’an di kumpulkan dengan dua cara :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan hafalan
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, pengamanan dan pelestarian Al Qur’an pertama diakukan dengan menghapalnya. Cara seperti ini umum dilakukan orang Arab dalam upaya menjaga dan melestarikan karya-karya sastra mereka. Cara paling lazim dalam menjaga Al Qur’an pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya ialah hapalan. ( Al Jam’u Fi As Sudur ). Ini dilakukan disamping banyaknya sahabat yang buta huruf  ( ummy ), juga hapalan orang Arab ketika itu yang terkenal sangat kuat.
Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang pertama kali menghapal Al Qur’an dan para sahabat mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an.
Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan oleh Rasulullah sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu, beliau langsung mengingat dan menghapal  serta menyampaikannya kepada kepada para sahabat. Lalu sahabat langsung menghapalnya dan menyampaikannya kepada keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa kita lihat pada ayat tentang turunnya hijab.
Dalam menerima wahyu yang berupa Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat bersemangat untuk segera menghapalnya. Suatu ketika beliau pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an tatkala wahyu turun kepadanya sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya keras untuk menghapalnya. Dari kejadian ini turunlah ayat QS. Al Qiyamah 75 : 16-19 ) :
“16.  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.[3] 17.  Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. 19.  Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman :
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” ( QS. Thaha, 20 : 114 )

2. Pengumpulan Al Qur’an dengan tulisan
Penulisan Al Qur’an pada zaman Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah dikenal secara umum. Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki beberapa sekretaris penulis Al Qur’an dari golongan sahabantnya, antara lain Abu Bakar As Siddhiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sofyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Ab Musa Al Asy’ari dan Abu Darda’. Apabila turun ayat-ayat Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk menulisnya, dan mengarahkan mereka letak dan sistematik peletakan surat-suratnya, lalu mereka menulis wahyu tersebut di atas kepingan tulang-belulang, pelepah korma, lempengan batu, di atas kulit bahkan di atas pelana kuda.
Gambaran nyatanya bisa kita saksikan dari kisah Ibnu Abbas. Beliau berkata :
“Dahulu, apabila turun surat ( Al Qur’an ), beliau memanggil beberapa orang untuk menulisnya. Rasulullah bersabda :”Letakkanlah surat ini, di tempat yang disebutkan di dalamnya ini dan ini…
Dari Zaid bin Tsabit ia berkata :”Dahulu kami berada disisi Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyusun Al Qur’an di atas kulit binatang”.
Keterangan :
Pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an telah rampung dan tertulis seleuruhnya, hanya saja ayat-ayat dan suratnya masih terpisah. Penulisannya pun mencakup tujuh qira’ah sebagaimana Al Qur’an turun. Di antara para sahabat ada yang mengumpulkan, menulis dan menghafalnya. Pada waktu itu pula Al Qur’an belum sempat di kumpulkan menjadi sebuah mushaf. Sekarang pertanyaannya….
Mengapa pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Qur’an tidak di bukukan menjadi mushaf ?
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam belum ada upaya untuk melakukan unifikasi atau kodifikasi Al Qur’an. Hal itu di karenakan beberapa faktor :
1. Al Qur’an tdak di bukukan pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam karena belum ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Berbeda pada zaman Khalifah Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra, upaya untuk melakukan pembukuan dan penggandaan Al Qur’an sangatlah mendesak. Disampng itu dari segi teknis, alat tulis-menulis ketika itu masih sulit di dapatkan, sehingga tidak heran kalau mereka menggunakan alat apa adanya seperti pelepah daun korma, lempengan batu, pecahan telang, kulit binatang dsb sebagai cara menjaga kelestarian Al Qur’an.
2. Al Qur’an tidak turun hanya sekali. Akan tetapi Al Qur’an turun secara berangsur-angsur selama lebih dari dua puluh tahun. Jikalau pengumpulan Al Qur’an dilakukan dan wahyu masih terus turun, maka yang akan terjadi mushaf tersebut tidak mencakup seluruh Al Qur’an.
3. Sistematika peletakan ayat dan surat tidak sesuai dengan sebab turunnya ayat tersebut. Dan kita semua tahu jikalau Al Qur’an di kumpulkan menjadi mushaf, sedangkan factor-faktor di atas masih saja berlingsung, maka mushaf yang telah terkumpulkan tadi jelas akan terjadi perobahan dan penyelewangan.

2. Fase Kedua adalah Kodifikasi Al Qur’an  pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, Abu Bakar As Shiddiq terpilih menjadi Khalifah dan pemimpin kaum muslimin. Pada masa kekhilafahannya, banyak terjadi kekacauan dan peristiwa yang di timbulkan oleh orang-orang murtad, pengikut nabi palsu Musailamah Al Kadzab. Kondisi inil mengakibatkan terjadinya perang Yamamah yang terjadi pada tanggal 12 H. dalam pertempuran itu, banyak sekali sahabat pembaca dan penghapal Al Qur’an yang gugur di medan perang. Data yang tercatat ,enunjukkan 70 sahabat  dari para penghapal Al Qur’an. Riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa jumlah sahabat yang gugur di medan perang sebnayka 500 sahabat.
Peristiwa tersebut menggugah hati Umar bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah kitab yang nantinya dinamakan dengan mushaf. Usulan ini disampaikan karena beliau merasa cemas dan khawatir bahwa Al Qur’an sedikit demi sedikit akan musnah  bila hanya mengandalkan hapalan, apalagi para penghapal Al Qur’an semakin berkurang dengan banyaknya mereka yang  gugur di medan perang.
Semula Khalifah Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu, sebab Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan Al Qur’an kepada kaum muslimin. Sehingga suatu saat  Allah membukakan hati Abu Bakar  dan menerima gagasan itu setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar ra tahu bahwa dengan mengumpulkan Al Qur’an sebagaimana yang diusulkan oleh Umar bin Khattab sarana yang sangat penting untuk menjaga kitab suci Al Qur’an dari kemusnahan, perobahan dan penyelewengan.

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa perbuatan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan mengumpulkan Al Qur’an bukanlah perkara bid’ah yang menyesatkan. Akan tetapi perbuatan ini berasarkan dari kaedah yang diletakkan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam penulisan Al Qur’an semasa hidupnya. Al Imam Abu Abdillah Al Muhasibi berkata di dalam kitabnya ( Fahmu As Sunan ) :
“Penulisan Al Qur’an bukanlah perbuatan bid’ah, karena Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk menulisnya. Akan tetapi ketika itu masih tercecer dan terpisah di atas kulit binatang, tulang an pelepah daun korma. Perintah Ash Shiddiq tidak lain hanyalah memindah dari tempat ke tempat lain untuk di kumpulkan. Di antaranya kumpulan kertas berupa Al Qr’an yang terdapat di dalam rumah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kertas-kertas tersebut di kumpulkan dan diikat dengan tali supaya tidak hilang”.
Ketika itu juga Abu Bakar Ash Shiddiq mengumumkan kepada kaum muslimin untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengepalai proyek ini, dikarenakan kapabelitas dan kemampuannya yang mumpuni, baik bacaan, tulisan, pemahaman disamping itu, umur beliau masih muda.
Sebagaimana halnya dengan Abu Bakar dahulu, Zaid bin Tsabit pada awalnya menolak perintah Abu Bakar ra tersebut. Kemudian timbullah diskusi panjang antara Abu Bakar ra dan Zaid bin Tsabit hingga beliau menerima permintaan Abu bakar Ash Shiddiq.
Diskusi antara Zaid bin Tsabit dan Abu bakar Ash Shiddiq termaktub di dalam kitab Shahih Bukhari. Zaid bin Tsabit berkata :
“Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah[4]. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata :”Umar telah datang kepadaku dan mengatakan,bahwa perang di Yamamah menelan banyak korban dari kalangan penghapal Al Qur’an. Dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para penghapAl Qur’an itu juga akan terjadi tempat lainnya, sehingga banyak dari akan hilang. Ia memerintahkan aku agar menyuruh seseorang untuk mengmpulkan Al Qur’an. Maka aku katakana kepada Umar, bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? tetpai Umar menjawab dan ia bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus-menerus mengatakan seperti itu sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerimausulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar”. Zaid berkata lagi :”Abu bakar berkata kepadaku :”Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu carilah Al Qur’an dan kumpulkanlah”. Kata Zaid lebih lanjut :”Demi Allah, sekirangnya mereka memintaku untuk meminahkan gunung, rasanya lebih ringan bagiku daripada memintaku untuk mengumpulkan Al Qur’an”. Karena itu aku menjawab :”Mengapa anda berdua inin melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? Abu Bakar menjawab :”Demi Allah, itu perbuatan baik”. Abu bakar terus-menerus menyemangatiku sehingga Allah membukakan hatiku senbagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Al Qur’an . kukumpulkan Al Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hapalan para penghapal Al Qur’an. Sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At Taubah berada pada Khuzaimah al Anshati, yang tidak dapat kudapatkan dari orang lain.
“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. ( QS. At  Taubah : 128 )
Hingga akhir surat. Lembara-lembaran ( hasil kerjaku ) tersebut, kemudian di simpan di tangan Abu Bakar hinga wafatnya. Sesudah itu berpindah tangan kepada Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar”. ( HR. Bukhari )
Undang-Undang Abu Bakar Dalam Penulisan Mushaf
Zaid bib Tsabit mengumpulkan Al Qur’an tersebut sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang di letakkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaid bin Tsabit tidak mencukupkan diri dengan hapalan di luar kepala, dengan apa yang ia tulis dan dengan apa yang ia dengar. Bahkan di dalam pengumpulan Al Qur’an ia berpatokan dengan dua sumber :
1. Al Qur’an yang di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
2. Hapalan para penghapal Al Qur’an.
Ia sangat teliti dan hati-hati di dalam penulisannya. Bahkan ia tidak menerima apa yang tertulis kecuali dengan dua orang saksi adil yang melihatnya bahwa tulisan ini di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hal ini berdasakan dari riwayat Yahya bin Abdurrahman bin Hathib ia berkata : Umar datang dan berkata :”Barangsiapa yang mendapatkan Al Qur’an dari rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallamhendaknya ia sampaikan. Mereka menuliskannya dalam lembaran dan pelepah, dan ia tdak menerima periwayatan seseorang sampai ada dua orang saksi yang menerimanya”. ( HR. Abu Daud )
Dalam riwayat lainnya, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa Abu baker berkata kepada Umar dan Zaid :”Duduklah kalian berdua dipintu masjid. Apabila ada yang datang kepada kalian dengan membawa dua orang saksi atas sesuatu dari Kitab Allah, maka tulislah !”. ( HR. Abu Daud )
Ibnu hajar berkata :”Yang di maksud dengan dua saksi ini adalah : Hapalan dan Tulisan”. Sedangkan As Sakhawi berkata di dalam kitab ( Jamalul Qurra’) :”Maksudnya ialah  dua orang saksi atas tulisan yang tertulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kesimpulan
Kodifikasi yang di lakukan atas perintah Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seluruh ayat Al Qur’an di kumpulkan dan di tulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat detail, teliti dan cermat. Para ulama berpendapat bahwa penyebutan Al Qur’an dengan mushaf mulai berlaku sejak zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
Ali bin Abi Thalib ra berkata :
“Orang yang mendapatkan pahala paling besar di dalam ( pengumpulan ) mushaf adalah Abu Bakar. Kesejahteraan Allah ata Abu Bakar. Dialah orang pertama kali yang  mengumpulkan Al Qur’an”.

3. Fase Ketiga adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Umar bin Khattab
Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, ia menyerahkan mushaf tersebut kepada Umar bin Khattab. Mushaf tersebut terjaga di tangan dengan sangat ketat di bawah tangung jawab Umar bin Khattab selaku Khalifah kedua pengganti Abu Bakar ra.
Pada masa Umar bin Khattab ra, mushaf tersebut diperintahkan untuk di salin kembali ke dalam lembaran ( shahifah ) yang lebih baik. Umar bin Khattab tidak lagi menggandakan lembaran tersebut karena memang hanya untuk di jadikan sebagai naskah orisinil ( master ), bukan sebagai bahan hapalan. Setelah seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah bin Umar, anak beliau selaku istri Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Fase ini sering sekali tidak mendapat perhatian dari pakar ilmu Al Qur’an, kekosongan ini akan membuka peluang baru bagi para orientalis untuk mencari celah dimana mereka dapat menyisipkan tujuan-tujuan negatif. Maka pada saat ini, sebaiknya di sebutkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, Jam’ul Qur’an tetap ada dalam arti menggunakanya di waktu shalat jama’ah, taraweh dan dirumah-rumah sahabat.
4. Fase Keempat adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab meninggal dunia, banyak pula para sahabat, mujahidin, dan huffadh meninggal dunia. Perang Adzerbaijan dan Armenia yang terjadi pada tahun 24 H, banyak menelan korban. Sejarawan At Thabari meriwayatkan bahwa ada sekitar 10.000 orang yang ikut di dalam pertempuran tersebut. Hal ini menjadikan fikiran bagi khalifah Utsman bin Affan sebagai penerusnya. Beliau khawatir dengan banyaknya sahabat yang meninggal dunia, maka akan semakin sedikit orang-orang yang hapal Al Qur’an
Sementara itu, agama Islam semakin meluas ke Negara-negara yang di kuasai oleg Romawi dan Persia di zaman Umar. Pada zaman Utsman bin Affan dunia Islam mengalami banya kemajuan dan perkembangan.. Mengingat wilayah penyebaran Islam sudah sedemikian luas di luar Jazairah Arab. Kebutuhan umat untuk mengkaji Al Qur’an pun semakin meningkat. Banyak ahli qira’ah dan penghapal Al Qur’an mulai terpencar dibeberapa kota dan berbagai propinsi untuk menjadi imam, seklaigus ulama, bertugas mengajar dan mendidik umat.  Dari sini, mulailah terasa adanya perbedaan bacaan Al Qur’an. Sedangkan para ahli bacaan tentu mengajarkan Al Qur’an sesuai dengan bacaan yang diberikan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.
Umat Islam yang tersebar dalam wilayah yang demikian luas itu mendapat pelajaran dan menerima bacaan Al Qur’an ( qiraat ) dari setiap sahabat yang ditugaskan di daerah. Penduduk Syiria misalnya memperoleh pelajaran  dan qiraah dari sahabat Ubay bin ka’ab ra. Penduduk Kufah, Irak, berguru kepada sahabat Abu Musa Al Asy’ary. Versi qiraah yang dimiliki dan di ajarkan oleh satiap sahabat yang ahli qira’ah itu berlainan satu sama lain. Keadaan ini ktika itu tentu saja menimbulkan dampak negative di kalangan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang saling membanggakan versi qira’ahnya dan merendahkan yang lain. Mereka mengklaim bahwa versi qira’ahnya yang paling benar. Situasi seperti ini mencemaskan Khalifah Utsman ibn Affan. Karena itu ia segera mengundang para sahabat penghapal Al Qur’an untuk memecah permasalah tersebut. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa mushaf yang ditulis pada masa Abu baker harus disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Lalu mushaf hasil salinan tersebut di kirimkan ke berbagai kota atau daerah untuk di jadikan rujukan utama kaum muslimin ketika menemui masalah dalam bacaan Al Qur’an.
Inisiatif Utsman bin Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Al Qur’an muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah al Yamani. Kemudian Khalaifah Utsman bin Affan mengirim sepucuk surat yang isinya meminta agar Hafshah mengirim mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa naskah. Setelah itu Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, said bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk bekerjasama menggandakan Al Qur’anutsman bin Affan berpesan bahwa “Jika terjadi perbedaan di antara kalian mengenai Al Qur’an, tulislah menurut dialek Quraisy, karena Al Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Setelah tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah Utsman bin Affan mengembalikan mushaf orisinil ( master ) kepada Hafshah. Kemudian, beberapa mushaf hasil kerja tim  tersebut di kirimkan ke berbagai kota, sementara mushaf-mushaf lainnya yang masih ada saat itu , Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan untuk segera di baker. Pembakaran mushaf ini di lakukan untuk mencegah terjadinya pertikaiandi kalangan umat karena setiap mushaf yang di baker mempunyai kekhususan. Para sahabat penulis wahyu pda masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak  terikat oleh ketentuan penulisan yang seragam dan baku, sehingga perbedaan antara koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan dari Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali dengan pasti mana ayat dan mana penjelsan ayat,  misalnya dengan membubuhi kode-kode tertentu yang mungkin hanya di ketahui oleh yang bersangkutan.
Perbedaan Antara Empat Fase Pengumpulan Al Qur’an
1. Pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an dilakukan ketika wahyu Al Qur’an di turunkan dengan menyusun urutan ayat-ayat dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi. Ayat-ayat tersebut di tulis secara terpisah pada kepingan-kepingan tulang, pelepah daun korma dsb.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar, motivasi pengumpulan Al Qur’an pada zaman ini ialah upaya memelihara Al Qur’an dari kepunahannya dengan wafatnya orang-orang yang membaca dan menghapalnya. Penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan Al Qur’an menjadi sebuah mushaf. Tertib suratnya menurut turunnya wahyu.
3. Pada Masa Khlaifah Umar bin Khattab, pada masa ini bisa di bilang tidak ada penulisan ulang yang di lakukan oleh Umar bin Khattab. Namun sekalipun demikian beliau sangat bertanggung jawab dalam penyimpanan Mushaf yang telah selesai di kumpulkan pada zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
4. Pada masa Khalifah  Utsman bin Affan ra motivasi untuk mengumpulkan Al Qur’an ialah banyaknya perbedaan bacaan Al Qur’an yang meluas ke segenap penjuru negeri dan telah mengakibatkan perselisihan sengit antar kaum muslimin. Lebih parah lagi mereka saling menyalahkan satu sama lain, maka Khlaifah khawatir adakn terjadi pertumpahan darah yang lebih besar., beliau memerintahkan untuk menhulis Al Qur’an dalam sat mushaf  dengan tertib ayat dan suratnya seperti yag ada sekarang ini. Beliau mengambil jalan tengah untuk menulis Al Qur’an dengan dialek bahas Qurasy dengan alas an bahwa Al Qur’an di turunkan dengan bahasa mereka, meskipun  tujuh bacaan ini terdiri dari beberapa bahasa.

copyright and Courtesy of Imam Hasanuddin



[1] . Kodifikasi berarti penetapan undang-undang secara tertulis ; pembukuan hukum.
[2] . Abdul Adhim Az Zurqani, Juz 1 hal. 203
[3] . Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[4] . Yaitu sebelum kematian 70 para penghapal Al Qur’an.

Tidak ada komentar: