Senin, Februari 25, 2013

Sejarah Singkat Imam Malik

Sejarah Singkat Imam Malik

 

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''

Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.

Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.


Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki


Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).

Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

Rabu, Februari 13, 2013

Sejarah Pengumpulan / Kodifikasi Al-Qur'an

Bismillahirrahmaanirrahiim
Sejarah Penyusunan Al Qur’an
( Jam’ul Qur’an )

Pengertian Jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al Qur’an )
Empat Fase Kodifikasi Al Qur’an :
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Rasulullah :
1. Kodifikasi Al Qur’an dengan hafalan
2. Kodifikasi Al Qur’an dengan tulisan
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Abu Bakar As Shiddiq
2. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Umar bin Khattab
3. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Utsman bin Affan
Perbedaan Fase Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ,Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra.

1. Pengertian Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an )
Kalimat Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an ) yang di dalam bahasa Indonesia akhirnya memiliki istilah khusus, yaitu Kodifikasi[1] Al Qur’an, di artikan oleh para Ulama dengan dua makna :
1.  Pengumpulan Al Qur’an dengan menjaganya atau menghafalnya di dalam hati. Pemngumpulan Al Qur’an ini di simpan di dalam hati
2. Jam’ul Qur’an di artikan sebagai penulisan Al Qur’an secara keseluruhan, baik secara huruf, surat dan sistematika ayat-ayatnya. Pengumpulan Al Qur’an ini disimpan di dalam mushaf.[2]

2. Empat Fase Penyusunan Al Qur’an
Untuk menjadi sebuah mushaf, Al Qur’an memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relative panjang dari zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga zaman Khalifah Ustman Bin Affan. Mushaf adalah Al Qur’an hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah di bentuk oleh Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam. Proses kodifikasi atau pembukuan Al Qur’an di lakukan melalui penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf Al Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua proses ini merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab suci Al Qur’an. Penyusunan Al Qur’an melewati empat fase menurut zamannya :
1. Fase Pertama adalah Pengumpulan Al Qur’an pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada masa ini Al Qur’an di kumpulkan dengan dua cara :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan hafalan
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, pengamanan dan pelestarian Al Qur’an pertama diakukan dengan menghapalnya. Cara seperti ini umum dilakukan orang Arab dalam upaya menjaga dan melestarikan karya-karya sastra mereka. Cara paling lazim dalam menjaga Al Qur’an pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya ialah hapalan. ( Al Jam’u Fi As Sudur ). Ini dilakukan disamping banyaknya sahabat yang buta huruf  ( ummy ), juga hapalan orang Arab ketika itu yang terkenal sangat kuat.
Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang pertama kali menghapal Al Qur’an dan para sahabat mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an.
Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan oleh Rasulullah sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu, beliau langsung mengingat dan menghapal  serta menyampaikannya kepada kepada para sahabat. Lalu sahabat langsung menghapalnya dan menyampaikannya kepada keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa kita lihat pada ayat tentang turunnya hijab.
Dalam menerima wahyu yang berupa Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat bersemangat untuk segera menghapalnya. Suatu ketika beliau pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an tatkala wahyu turun kepadanya sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya keras untuk menghapalnya. Dari kejadian ini turunlah ayat QS. Al Qiyamah 75 : 16-19 ) :
“16.  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.[3] 17.  Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. 19.  Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman :
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” ( QS. Thaha, 20 : 114 )

2. Pengumpulan Al Qur’an dengan tulisan
Penulisan Al Qur’an pada zaman Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah dikenal secara umum. Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki beberapa sekretaris penulis Al Qur’an dari golongan sahabantnya, antara lain Abu Bakar As Siddhiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sofyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Ab Musa Al Asy’ari dan Abu Darda’. Apabila turun ayat-ayat Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk menulisnya, dan mengarahkan mereka letak dan sistematik peletakan surat-suratnya, lalu mereka menulis wahyu tersebut di atas kepingan tulang-belulang, pelepah korma, lempengan batu, di atas kulit bahkan di atas pelana kuda.
Gambaran nyatanya bisa kita saksikan dari kisah Ibnu Abbas. Beliau berkata :
“Dahulu, apabila turun surat ( Al Qur’an ), beliau memanggil beberapa orang untuk menulisnya. Rasulullah bersabda :”Letakkanlah surat ini, di tempat yang disebutkan di dalamnya ini dan ini…
Dari Zaid bin Tsabit ia berkata :”Dahulu kami berada disisi Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyusun Al Qur’an di atas kulit binatang”.
Keterangan :
Pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an telah rampung dan tertulis seleuruhnya, hanya saja ayat-ayat dan suratnya masih terpisah. Penulisannya pun mencakup tujuh qira’ah sebagaimana Al Qur’an turun. Di antara para sahabat ada yang mengumpulkan, menulis dan menghafalnya. Pada waktu itu pula Al Qur’an belum sempat di kumpulkan menjadi sebuah mushaf. Sekarang pertanyaannya….
Mengapa pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Qur’an tidak di bukukan menjadi mushaf ?
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam belum ada upaya untuk melakukan unifikasi atau kodifikasi Al Qur’an. Hal itu di karenakan beberapa faktor :
1. Al Qur’an tdak di bukukan pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam karena belum ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Berbeda pada zaman Khalifah Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra, upaya untuk melakukan pembukuan dan penggandaan Al Qur’an sangatlah mendesak. Disampng itu dari segi teknis, alat tulis-menulis ketika itu masih sulit di dapatkan, sehingga tidak heran kalau mereka menggunakan alat apa adanya seperti pelepah daun korma, lempengan batu, pecahan telang, kulit binatang dsb sebagai cara menjaga kelestarian Al Qur’an.
2. Al Qur’an tidak turun hanya sekali. Akan tetapi Al Qur’an turun secara berangsur-angsur selama lebih dari dua puluh tahun. Jikalau pengumpulan Al Qur’an dilakukan dan wahyu masih terus turun, maka yang akan terjadi mushaf tersebut tidak mencakup seluruh Al Qur’an.
3. Sistematika peletakan ayat dan surat tidak sesuai dengan sebab turunnya ayat tersebut. Dan kita semua tahu jikalau Al Qur’an di kumpulkan menjadi mushaf, sedangkan factor-faktor di atas masih saja berlingsung, maka mushaf yang telah terkumpulkan tadi jelas akan terjadi perobahan dan penyelewangan.

2. Fase Kedua adalah Kodifikasi Al Qur’an  pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, Abu Bakar As Shiddiq terpilih menjadi Khalifah dan pemimpin kaum muslimin. Pada masa kekhilafahannya, banyak terjadi kekacauan dan peristiwa yang di timbulkan oleh orang-orang murtad, pengikut nabi palsu Musailamah Al Kadzab. Kondisi inil mengakibatkan terjadinya perang Yamamah yang terjadi pada tanggal 12 H. dalam pertempuran itu, banyak sekali sahabat pembaca dan penghapal Al Qur’an yang gugur di medan perang. Data yang tercatat ,enunjukkan 70 sahabat  dari para penghapal Al Qur’an. Riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa jumlah sahabat yang gugur di medan perang sebnayka 500 sahabat.
Peristiwa tersebut menggugah hati Umar bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah kitab yang nantinya dinamakan dengan mushaf. Usulan ini disampaikan karena beliau merasa cemas dan khawatir bahwa Al Qur’an sedikit demi sedikit akan musnah  bila hanya mengandalkan hapalan, apalagi para penghapal Al Qur’an semakin berkurang dengan banyaknya mereka yang  gugur di medan perang.
Semula Khalifah Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu, sebab Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan Al Qur’an kepada kaum muslimin. Sehingga suatu saat  Allah membukakan hati Abu Bakar  dan menerima gagasan itu setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar ra tahu bahwa dengan mengumpulkan Al Qur’an sebagaimana yang diusulkan oleh Umar bin Khattab sarana yang sangat penting untuk menjaga kitab suci Al Qur’an dari kemusnahan, perobahan dan penyelewengan.

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa perbuatan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan mengumpulkan Al Qur’an bukanlah perkara bid’ah yang menyesatkan. Akan tetapi perbuatan ini berasarkan dari kaedah yang diletakkan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam penulisan Al Qur’an semasa hidupnya. Al Imam Abu Abdillah Al Muhasibi berkata di dalam kitabnya ( Fahmu As Sunan ) :
“Penulisan Al Qur’an bukanlah perbuatan bid’ah, karena Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk menulisnya. Akan tetapi ketika itu masih tercecer dan terpisah di atas kulit binatang, tulang an pelepah daun korma. Perintah Ash Shiddiq tidak lain hanyalah memindah dari tempat ke tempat lain untuk di kumpulkan. Di antaranya kumpulan kertas berupa Al Qr’an yang terdapat di dalam rumah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kertas-kertas tersebut di kumpulkan dan diikat dengan tali supaya tidak hilang”.
Ketika itu juga Abu Bakar Ash Shiddiq mengumumkan kepada kaum muslimin untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengepalai proyek ini, dikarenakan kapabelitas dan kemampuannya yang mumpuni, baik bacaan, tulisan, pemahaman disamping itu, umur beliau masih muda.
Sebagaimana halnya dengan Abu Bakar dahulu, Zaid bin Tsabit pada awalnya menolak perintah Abu Bakar ra tersebut. Kemudian timbullah diskusi panjang antara Abu Bakar ra dan Zaid bin Tsabit hingga beliau menerima permintaan Abu bakar Ash Shiddiq.
Diskusi antara Zaid bin Tsabit dan Abu bakar Ash Shiddiq termaktub di dalam kitab Shahih Bukhari. Zaid bin Tsabit berkata :
“Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah[4]. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata :”Umar telah datang kepadaku dan mengatakan,bahwa perang di Yamamah menelan banyak korban dari kalangan penghapal Al Qur’an. Dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para penghapAl Qur’an itu juga akan terjadi tempat lainnya, sehingga banyak dari akan hilang. Ia memerintahkan aku agar menyuruh seseorang untuk mengmpulkan Al Qur’an. Maka aku katakana kepada Umar, bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? tetpai Umar menjawab dan ia bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus-menerus mengatakan seperti itu sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerimausulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar”. Zaid berkata lagi :”Abu bakar berkata kepadaku :”Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu carilah Al Qur’an dan kumpulkanlah”. Kata Zaid lebih lanjut :”Demi Allah, sekirangnya mereka memintaku untuk meminahkan gunung, rasanya lebih ringan bagiku daripada memintaku untuk mengumpulkan Al Qur’an”. Karena itu aku menjawab :”Mengapa anda berdua inin melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? Abu Bakar menjawab :”Demi Allah, itu perbuatan baik”. Abu bakar terus-menerus menyemangatiku sehingga Allah membukakan hatiku senbagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Al Qur’an . kukumpulkan Al Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hapalan para penghapal Al Qur’an. Sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At Taubah berada pada Khuzaimah al Anshati, yang tidak dapat kudapatkan dari orang lain.
“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. ( QS. At  Taubah : 128 )
Hingga akhir surat. Lembara-lembaran ( hasil kerjaku ) tersebut, kemudian di simpan di tangan Abu Bakar hinga wafatnya. Sesudah itu berpindah tangan kepada Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar”. ( HR. Bukhari )
Undang-Undang Abu Bakar Dalam Penulisan Mushaf
Zaid bib Tsabit mengumpulkan Al Qur’an tersebut sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang di letakkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaid bin Tsabit tidak mencukupkan diri dengan hapalan di luar kepala, dengan apa yang ia tulis dan dengan apa yang ia dengar. Bahkan di dalam pengumpulan Al Qur’an ia berpatokan dengan dua sumber :
1. Al Qur’an yang di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
2. Hapalan para penghapal Al Qur’an.
Ia sangat teliti dan hati-hati di dalam penulisannya. Bahkan ia tidak menerima apa yang tertulis kecuali dengan dua orang saksi adil yang melihatnya bahwa tulisan ini di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hal ini berdasakan dari riwayat Yahya bin Abdurrahman bin Hathib ia berkata : Umar datang dan berkata :”Barangsiapa yang mendapatkan Al Qur’an dari rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallamhendaknya ia sampaikan. Mereka menuliskannya dalam lembaran dan pelepah, dan ia tdak menerima periwayatan seseorang sampai ada dua orang saksi yang menerimanya”. ( HR. Abu Daud )
Dalam riwayat lainnya, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa Abu baker berkata kepada Umar dan Zaid :”Duduklah kalian berdua dipintu masjid. Apabila ada yang datang kepada kalian dengan membawa dua orang saksi atas sesuatu dari Kitab Allah, maka tulislah !”. ( HR. Abu Daud )
Ibnu hajar berkata :”Yang di maksud dengan dua saksi ini adalah : Hapalan dan Tulisan”. Sedangkan As Sakhawi berkata di dalam kitab ( Jamalul Qurra’) :”Maksudnya ialah  dua orang saksi atas tulisan yang tertulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kesimpulan
Kodifikasi yang di lakukan atas perintah Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seluruh ayat Al Qur’an di kumpulkan dan di tulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat detail, teliti dan cermat. Para ulama berpendapat bahwa penyebutan Al Qur’an dengan mushaf mulai berlaku sejak zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
Ali bin Abi Thalib ra berkata :
“Orang yang mendapatkan pahala paling besar di dalam ( pengumpulan ) mushaf adalah Abu Bakar. Kesejahteraan Allah ata Abu Bakar. Dialah orang pertama kali yang  mengumpulkan Al Qur’an”.

3. Fase Ketiga adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Umar bin Khattab
Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, ia menyerahkan mushaf tersebut kepada Umar bin Khattab. Mushaf tersebut terjaga di tangan dengan sangat ketat di bawah tangung jawab Umar bin Khattab selaku Khalifah kedua pengganti Abu Bakar ra.
Pada masa Umar bin Khattab ra, mushaf tersebut diperintahkan untuk di salin kembali ke dalam lembaran ( shahifah ) yang lebih baik. Umar bin Khattab tidak lagi menggandakan lembaran tersebut karena memang hanya untuk di jadikan sebagai naskah orisinil ( master ), bukan sebagai bahan hapalan. Setelah seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah bin Umar, anak beliau selaku istri Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Fase ini sering sekali tidak mendapat perhatian dari pakar ilmu Al Qur’an, kekosongan ini akan membuka peluang baru bagi para orientalis untuk mencari celah dimana mereka dapat menyisipkan tujuan-tujuan negatif. Maka pada saat ini, sebaiknya di sebutkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, Jam’ul Qur’an tetap ada dalam arti menggunakanya di waktu shalat jama’ah, taraweh dan dirumah-rumah sahabat.
4. Fase Keempat adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab meninggal dunia, banyak pula para sahabat, mujahidin, dan huffadh meninggal dunia. Perang Adzerbaijan dan Armenia yang terjadi pada tahun 24 H, banyak menelan korban. Sejarawan At Thabari meriwayatkan bahwa ada sekitar 10.000 orang yang ikut di dalam pertempuran tersebut. Hal ini menjadikan fikiran bagi khalifah Utsman bin Affan sebagai penerusnya. Beliau khawatir dengan banyaknya sahabat yang meninggal dunia, maka akan semakin sedikit orang-orang yang hapal Al Qur’an
Sementara itu, agama Islam semakin meluas ke Negara-negara yang di kuasai oleg Romawi dan Persia di zaman Umar. Pada zaman Utsman bin Affan dunia Islam mengalami banya kemajuan dan perkembangan.. Mengingat wilayah penyebaran Islam sudah sedemikian luas di luar Jazairah Arab. Kebutuhan umat untuk mengkaji Al Qur’an pun semakin meningkat. Banyak ahli qira’ah dan penghapal Al Qur’an mulai terpencar dibeberapa kota dan berbagai propinsi untuk menjadi imam, seklaigus ulama, bertugas mengajar dan mendidik umat.  Dari sini, mulailah terasa adanya perbedaan bacaan Al Qur’an. Sedangkan para ahli bacaan tentu mengajarkan Al Qur’an sesuai dengan bacaan yang diberikan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.
Umat Islam yang tersebar dalam wilayah yang demikian luas itu mendapat pelajaran dan menerima bacaan Al Qur’an ( qiraat ) dari setiap sahabat yang ditugaskan di daerah. Penduduk Syiria misalnya memperoleh pelajaran  dan qiraah dari sahabat Ubay bin ka’ab ra. Penduduk Kufah, Irak, berguru kepada sahabat Abu Musa Al Asy’ary. Versi qiraah yang dimiliki dan di ajarkan oleh satiap sahabat yang ahli qira’ah itu berlainan satu sama lain. Keadaan ini ktika itu tentu saja menimbulkan dampak negative di kalangan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang saling membanggakan versi qira’ahnya dan merendahkan yang lain. Mereka mengklaim bahwa versi qira’ahnya yang paling benar. Situasi seperti ini mencemaskan Khalifah Utsman ibn Affan. Karena itu ia segera mengundang para sahabat penghapal Al Qur’an untuk memecah permasalah tersebut. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa mushaf yang ditulis pada masa Abu baker harus disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Lalu mushaf hasil salinan tersebut di kirimkan ke berbagai kota atau daerah untuk di jadikan rujukan utama kaum muslimin ketika menemui masalah dalam bacaan Al Qur’an.
Inisiatif Utsman bin Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Al Qur’an muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah al Yamani. Kemudian Khalaifah Utsman bin Affan mengirim sepucuk surat yang isinya meminta agar Hafshah mengirim mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa naskah. Setelah itu Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, said bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk bekerjasama menggandakan Al Qur’anutsman bin Affan berpesan bahwa “Jika terjadi perbedaan di antara kalian mengenai Al Qur’an, tulislah menurut dialek Quraisy, karena Al Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Setelah tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah Utsman bin Affan mengembalikan mushaf orisinil ( master ) kepada Hafshah. Kemudian, beberapa mushaf hasil kerja tim  tersebut di kirimkan ke berbagai kota, sementara mushaf-mushaf lainnya yang masih ada saat itu , Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan untuk segera di baker. Pembakaran mushaf ini di lakukan untuk mencegah terjadinya pertikaiandi kalangan umat karena setiap mushaf yang di baker mempunyai kekhususan. Para sahabat penulis wahyu pda masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak  terikat oleh ketentuan penulisan yang seragam dan baku, sehingga perbedaan antara koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan dari Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali dengan pasti mana ayat dan mana penjelsan ayat,  misalnya dengan membubuhi kode-kode tertentu yang mungkin hanya di ketahui oleh yang bersangkutan.
Perbedaan Antara Empat Fase Pengumpulan Al Qur’an
1. Pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an dilakukan ketika wahyu Al Qur’an di turunkan dengan menyusun urutan ayat-ayat dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi. Ayat-ayat tersebut di tulis secara terpisah pada kepingan-kepingan tulang, pelepah daun korma dsb.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar, motivasi pengumpulan Al Qur’an pada zaman ini ialah upaya memelihara Al Qur’an dari kepunahannya dengan wafatnya orang-orang yang membaca dan menghapalnya. Penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan Al Qur’an menjadi sebuah mushaf. Tertib suratnya menurut turunnya wahyu.
3. Pada Masa Khlaifah Umar bin Khattab, pada masa ini bisa di bilang tidak ada penulisan ulang yang di lakukan oleh Umar bin Khattab. Namun sekalipun demikian beliau sangat bertanggung jawab dalam penyimpanan Mushaf yang telah selesai di kumpulkan pada zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
4. Pada masa Khalifah  Utsman bin Affan ra motivasi untuk mengumpulkan Al Qur’an ialah banyaknya perbedaan bacaan Al Qur’an yang meluas ke segenap penjuru negeri dan telah mengakibatkan perselisihan sengit antar kaum muslimin. Lebih parah lagi mereka saling menyalahkan satu sama lain, maka Khlaifah khawatir adakn terjadi pertumpahan darah yang lebih besar., beliau memerintahkan untuk menhulis Al Qur’an dalam sat mushaf  dengan tertib ayat dan suratnya seperti yag ada sekarang ini. Beliau mengambil jalan tengah untuk menulis Al Qur’an dengan dialek bahas Qurasy dengan alas an bahwa Al Qur’an di turunkan dengan bahasa mereka, meskipun  tujuh bacaan ini terdiri dari beberapa bahasa.

copyright and Courtesy of Imam Hasanuddin



[1] . Kodifikasi berarti penetapan undang-undang secara tertulis ; pembukuan hukum.
[2] . Abdul Adhim Az Zurqani, Juz 1 hal. 203
[3] . Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[4] . Yaitu sebelum kematian 70 para penghapal Al Qur’an.

Selasa, November 06, 2012

Menikah dengan Aturan Islam

Pengertian Nikah





Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim

Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.

Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).

Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.
Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21)

Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1)

[Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/175-176, Fathul Bari, 9/130, Adz-Dzakhirah, 4/188-189, At-Ta’rifat Lil Jurjani, hal. 237, Asy-Syarhul Mumti’, 12/5, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274]
Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya



Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim

Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur: 32)

Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...

“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu)

Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al- Kitabu was-Sunnah wal Ijma’.

Penetapan syariat banyak memberikan hasungan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak mafsadat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ

“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/189)

Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata, “Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Seandainya tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4/128)

Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:

1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.

2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.

3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.

4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).

5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ

“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)

6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al- Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)
Hukum Nikah



Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim

Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)

Utsman bin Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)

Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.

Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara- perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.

Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)

[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al- Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)

Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab [Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah] tentang hukum nikah:

 Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)

 Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang- orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits:
: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ

“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu) (Adz-Dzakhirah, 4/190)

 Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)

 Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)

 Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)
Tujuan Menikah



Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim

Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:

1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...

“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”

2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ

“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”

3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)

Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)

Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.