Senin, Februari 25, 2013

Sejarah Singkat Imam Hanafi

Sejarah Singkat Imam Hanafi

 

Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.

Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian negatif yang ditujukan kepada Abu HanifahAbu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’, sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil”
Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari majalah Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh

Sejarah Singkat Imam Malik

Sejarah Singkat Imam Malik

 

Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''

Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.

Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.

Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.

Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.

Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.

Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.

Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.


Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki


Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).

Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.

Rabu, Februari 13, 2013

Sejarah Pengumpulan / Kodifikasi Al-Qur'an

Bismillahirrahmaanirrahiim
Sejarah Penyusunan Al Qur’an
( Jam’ul Qur’an )

Pengertian Jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al Qur’an )
Empat Fase Kodifikasi Al Qur’an :
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Rasulullah :
1. Kodifikasi Al Qur’an dengan hafalan
2. Kodifikasi Al Qur’an dengan tulisan
1. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Abu Bakar As Shiddiq
2. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Umar bin Khattab
3. Kodifikasi Al Qur’an di zaman Utsman bin Affan
Perbedaan Fase Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ,Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra.

1. Pengertian Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an )
Kalimat Jam’ul Qur’an ( Pengumpulan Al Qur’an ) yang di dalam bahasa Indonesia akhirnya memiliki istilah khusus, yaitu Kodifikasi[1] Al Qur’an, di artikan oleh para Ulama dengan dua makna :
1.  Pengumpulan Al Qur’an dengan menjaganya atau menghafalnya di dalam hati. Pemngumpulan Al Qur’an ini di simpan di dalam hati
2. Jam’ul Qur’an di artikan sebagai penulisan Al Qur’an secara keseluruhan, baik secara huruf, surat dan sistematika ayat-ayatnya. Pengumpulan Al Qur’an ini disimpan di dalam mushaf.[2]

2. Empat Fase Penyusunan Al Qur’an
Untuk menjadi sebuah mushaf, Al Qur’an memerlukan beberapa proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relative panjang dari zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga zaman Khalifah Ustman Bin Affan. Mushaf adalah Al Qur’an hasil penulisan atau kodifikasi panitia yang telah di bentuk oleh Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf inilah yang lazim disebut Mushaf Utsmani atau Mushaf Imam. Proses kodifikasi atau pembukuan Al Qur’an di lakukan melalui penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf Al Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua proses ini merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab suci Al Qur’an. Penyusunan Al Qur’an melewati empat fase menurut zamannya :
1. Fase Pertama adalah Pengumpulan Al Qur’an pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada masa ini Al Qur’an di kumpulkan dengan dua cara :
1. Pengumpulan Al Qur’an dengan hafalan
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, pengamanan dan pelestarian Al Qur’an pertama diakukan dengan menghapalnya. Cara seperti ini umum dilakukan orang Arab dalam upaya menjaga dan melestarikan karya-karya sastra mereka. Cara paling lazim dalam menjaga Al Qur’an pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya ialah hapalan. ( Al Jam’u Fi As Sudur ). Ini dilakukan disamping banyaknya sahabat yang buta huruf  ( ummy ), juga hapalan orang Arab ketika itu yang terkenal sangat kuat.
Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang pertama kali menghapal Al Qur’an dan para sahabat mencontoh suri tauladannya, sebagai usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an.
Upaya pelestarian Al Qur’an pada masa nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam dilakukan oleh Rasulullah sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu, beliau langsung mengingat dan menghapal  serta menyampaikannya kepada kepada para sahabat. Lalu sahabat langsung menghapalnya dan menyampaikannya kepada keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa kita lihat pada ayat tentang turunnya hijab.
Dalam menerima wahyu yang berupa Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat bersemangat untuk segera menghapalnya. Suatu ketika beliau pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an tatkala wahyu turun kepadanya sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya keras untuk menghapalnya. Dari kejadian ini turunlah ayat QS. Al Qiyamah 75 : 16-19 ) :
“16.  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.[3] 17.  Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. 19.  Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman :
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” ( QS. Thaha, 20 : 114 )

2. Pengumpulan Al Qur’an dengan tulisan
Penulisan Al Qur’an pada zaman Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah dikenal secara umum. Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki beberapa sekretaris penulis Al Qur’an dari golongan sahabantnya, antara lain Abu Bakar As Siddhiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sofyan, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Amir bin Fuhairah, Amr bin Ash, Ab Musa Al Asy’ari dan Abu Darda’. Apabila turun ayat-ayat Al Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk menulisnya, dan mengarahkan mereka letak dan sistematik peletakan surat-suratnya, lalu mereka menulis wahyu tersebut di atas kepingan tulang-belulang, pelepah korma, lempengan batu, di atas kulit bahkan di atas pelana kuda.
Gambaran nyatanya bisa kita saksikan dari kisah Ibnu Abbas. Beliau berkata :
“Dahulu, apabila turun surat ( Al Qur’an ), beliau memanggil beberapa orang untuk menulisnya. Rasulullah bersabda :”Letakkanlah surat ini, di tempat yang disebutkan di dalamnya ini dan ini…
Dari Zaid bin Tsabit ia berkata :”Dahulu kami berada disisi Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam menyusun Al Qur’an di atas kulit binatang”.
Keterangan :
Pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an telah rampung dan tertulis seleuruhnya, hanya saja ayat-ayat dan suratnya masih terpisah. Penulisannya pun mencakup tujuh qira’ah sebagaimana Al Qur’an turun. Di antara para sahabat ada yang mengumpulkan, menulis dan menghafalnya. Pada waktu itu pula Al Qur’an belum sempat di kumpulkan menjadi sebuah mushaf. Sekarang pertanyaannya….
Mengapa pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Qur’an tidak di bukukan menjadi mushaf ?
Pada masa Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam belum ada upaya untuk melakukan unifikasi atau kodifikasi Al Qur’an. Hal itu di karenakan beberapa faktor :
1. Al Qur’an tdak di bukukan pada zaman Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam karena belum ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Berbeda pada zaman Khalifah Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra, upaya untuk melakukan pembukuan dan penggandaan Al Qur’an sangatlah mendesak. Disampng itu dari segi teknis, alat tulis-menulis ketika itu masih sulit di dapatkan, sehingga tidak heran kalau mereka menggunakan alat apa adanya seperti pelepah daun korma, lempengan batu, pecahan telang, kulit binatang dsb sebagai cara menjaga kelestarian Al Qur’an.
2. Al Qur’an tidak turun hanya sekali. Akan tetapi Al Qur’an turun secara berangsur-angsur selama lebih dari dua puluh tahun. Jikalau pengumpulan Al Qur’an dilakukan dan wahyu masih terus turun, maka yang akan terjadi mushaf tersebut tidak mencakup seluruh Al Qur’an.
3. Sistematika peletakan ayat dan surat tidak sesuai dengan sebab turunnya ayat tersebut. Dan kita semua tahu jikalau Al Qur’an di kumpulkan menjadi mushaf, sedangkan factor-faktor di atas masih saja berlingsung, maka mushaf yang telah terkumpulkan tadi jelas akan terjadi perobahan dan penyelewangan.

2. Fase Kedua adalah Kodifikasi Al Qur’an  pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Setelah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, Abu Bakar As Shiddiq terpilih menjadi Khalifah dan pemimpin kaum muslimin. Pada masa kekhilafahannya, banyak terjadi kekacauan dan peristiwa yang di timbulkan oleh orang-orang murtad, pengikut nabi palsu Musailamah Al Kadzab. Kondisi inil mengakibatkan terjadinya perang Yamamah yang terjadi pada tanggal 12 H. dalam pertempuran itu, banyak sekali sahabat pembaca dan penghapal Al Qur’an yang gugur di medan perang. Data yang tercatat ,enunjukkan 70 sahabat  dari para penghapal Al Qur’an. Riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa jumlah sahabat yang gugur di medan perang sebnayka 500 sahabat.
Peristiwa tersebut menggugah hati Umar bin Khattab untuk meminta kepada Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq agar Al Qur’an segera di kumpulkan dan di tulis dalam sebuah kitab yang nantinya dinamakan dengan mushaf. Usulan ini disampaikan karena beliau merasa cemas dan khawatir bahwa Al Qur’an sedikit demi sedikit akan musnah  bila hanya mengandalkan hapalan, apalagi para penghapal Al Qur’an semakin berkurang dengan banyaknya mereka yang  gugur di medan perang.
Semula Khalifah Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan Umar bin Khattab itu, sebab Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan Al Qur’an kepada kaum muslimin. Sehingga suatu saat  Allah membukakan hati Abu Bakar  dan menerima gagasan itu setelah betul-betul mempertimbangkan kebaikan dan manfaatnya. Abu Bakar ra tahu bahwa dengan mengumpulkan Al Qur’an sebagaimana yang diusulkan oleh Umar bin Khattab sarana yang sangat penting untuk menjaga kitab suci Al Qur’an dari kemusnahan, perobahan dan penyelewengan.

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa perbuatan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan mengumpulkan Al Qur’an bukanlah perkara bid’ah yang menyesatkan. Akan tetapi perbuatan ini berasarkan dari kaedah yang diletakkan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam penulisan Al Qur’an semasa hidupnya. Al Imam Abu Abdillah Al Muhasibi berkata di dalam kitabnya ( Fahmu As Sunan ) :
“Penulisan Al Qur’an bukanlah perbuatan bid’ah, karena Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk menulisnya. Akan tetapi ketika itu masih tercecer dan terpisah di atas kulit binatang, tulang an pelepah daun korma. Perintah Ash Shiddiq tidak lain hanyalah memindah dari tempat ke tempat lain untuk di kumpulkan. Di antaranya kumpulan kertas berupa Al Qr’an yang terdapat di dalam rumah Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kertas-kertas tersebut di kumpulkan dan diikat dengan tali supaya tidak hilang”.
Ketika itu juga Abu Bakar Ash Shiddiq mengumumkan kepada kaum muslimin untuk mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengepalai proyek ini, dikarenakan kapabelitas dan kemampuannya yang mumpuni, baik bacaan, tulisan, pemahaman disamping itu, umur beliau masih muda.
Sebagaimana halnya dengan Abu Bakar dahulu, Zaid bin Tsabit pada awalnya menolak perintah Abu Bakar ra tersebut. Kemudian timbullah diskusi panjang antara Abu Bakar ra dan Zaid bin Tsabit hingga beliau menerima permintaan Abu bakar Ash Shiddiq.
Diskusi antara Zaid bin Tsabit dan Abu bakar Ash Shiddiq termaktub di dalam kitab Shahih Bukhari. Zaid bin Tsabit berkata :
“Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah[4]. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata :”Umar telah datang kepadaku dan mengatakan,bahwa perang di Yamamah menelan banyak korban dari kalangan penghapal Al Qur’an. Dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para penghapAl Qur’an itu juga akan terjadi tempat lainnya, sehingga banyak dari akan hilang. Ia memerintahkan aku agar menyuruh seseorang untuk mengmpulkan Al Qur’an. Maka aku katakana kepada Umar, bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? tetpai Umar menjawab dan ia bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus-menerus mengatakan seperti itu sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerimausulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar”. Zaid berkata lagi :”Abu bakar berkata kepadaku :”Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu carilah Al Qur’an dan kumpulkanlah”. Kata Zaid lebih lanjut :”Demi Allah, sekirangnya mereka memintaku untuk meminahkan gunung, rasanya lebih ringan bagiku daripada memintaku untuk mengumpulkan Al Qur’an”. Karena itu aku menjawab :”Mengapa anda berdua inin melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam ? Abu Bakar menjawab :”Demi Allah, itu perbuatan baik”. Abu bakar terus-menerus menyemangatiku sehingga Allah membukakan hatiku senbagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Al Qur’an . kukumpulkan Al Qur’an dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu dan dari hapalan para penghapal Al Qur’an. Sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At Taubah berada pada Khuzaimah al Anshati, yang tidak dapat kudapatkan dari orang lain.
“Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”. ( QS. At  Taubah : 128 )
Hingga akhir surat. Lembara-lembaran ( hasil kerjaku ) tersebut, kemudian di simpan di tangan Abu Bakar hinga wafatnya. Sesudah itu berpindah tangan kepada Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada di tangan Hafshah binti Umar”. ( HR. Bukhari )
Undang-Undang Abu Bakar Dalam Penulisan Mushaf
Zaid bib Tsabit mengumpulkan Al Qur’an tersebut sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang di letakkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaid bin Tsabit tidak mencukupkan diri dengan hapalan di luar kepala, dengan apa yang ia tulis dan dengan apa yang ia dengar. Bahkan di dalam pengumpulan Al Qur’an ia berpatokan dengan dua sumber :
1. Al Qur’an yang di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam
2. Hapalan para penghapal Al Qur’an.
Ia sangat teliti dan hati-hati di dalam penulisannya. Bahkan ia tidak menerima apa yang tertulis kecuali dengan dua orang saksi adil yang melihatnya bahwa tulisan ini di tulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Hal ini berdasakan dari riwayat Yahya bin Abdurrahman bin Hathib ia berkata : Umar datang dan berkata :”Barangsiapa yang mendapatkan Al Qur’an dari rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallamhendaknya ia sampaikan. Mereka menuliskannya dalam lembaran dan pelepah, dan ia tdak menerima periwayatan seseorang sampai ada dua orang saksi yang menerimanya”. ( HR. Abu Daud )
Dalam riwayat lainnya, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa Abu baker berkata kepada Umar dan Zaid :”Duduklah kalian berdua dipintu masjid. Apabila ada yang datang kepada kalian dengan membawa dua orang saksi atas sesuatu dari Kitab Allah, maka tulislah !”. ( HR. Abu Daud )
Ibnu hajar berkata :”Yang di maksud dengan dua saksi ini adalah : Hapalan dan Tulisan”. Sedangkan As Sakhawi berkata di dalam kitab ( Jamalul Qurra’) :”Maksudnya ialah  dua orang saksi atas tulisan yang tertulis di hadapan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kesimpulan
Kodifikasi yang di lakukan atas perintah Abu Bakar Ash Shiddiq adalah seluruh ayat Al Qur’an di kumpulkan dan di tulis menjadi sebuah mushaf setelah melalui proses penelitian yang sangat detail, teliti dan cermat. Para ulama berpendapat bahwa penyebutan Al Qur’an dengan mushaf mulai berlaku sejak zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
Ali bin Abi Thalib ra berkata :
“Orang yang mendapatkan pahala paling besar di dalam ( pengumpulan ) mushaf adalah Abu Bakar. Kesejahteraan Allah ata Abu Bakar. Dialah orang pertama kali yang  mengumpulkan Al Qur’an”.

3. Fase Ketiga adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Umar bin Khattab
Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, ia menyerahkan mushaf tersebut kepada Umar bin Khattab. Mushaf tersebut terjaga di tangan dengan sangat ketat di bawah tangung jawab Umar bin Khattab selaku Khalifah kedua pengganti Abu Bakar ra.
Pada masa Umar bin Khattab ra, mushaf tersebut diperintahkan untuk di salin kembali ke dalam lembaran ( shahifah ) yang lebih baik. Umar bin Khattab tidak lagi menggandakan lembaran tersebut karena memang hanya untuk di jadikan sebagai naskah orisinil ( master ), bukan sebagai bahan hapalan. Setelah seluruh rangkaian penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Hafshah bin Umar, anak beliau selaku istri Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Fase ini sering sekali tidak mendapat perhatian dari pakar ilmu Al Qur’an, kekosongan ini akan membuka peluang baru bagi para orientalis untuk mencari celah dimana mereka dapat menyisipkan tujuan-tujuan negatif. Maka pada saat ini, sebaiknya di sebutkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, Jam’ul Qur’an tetap ada dalam arti menggunakanya di waktu shalat jama’ah, taraweh dan dirumah-rumah sahabat.
4. Fase Keempat adalah Kodifikasi Al Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab meninggal dunia, banyak pula para sahabat, mujahidin, dan huffadh meninggal dunia. Perang Adzerbaijan dan Armenia yang terjadi pada tahun 24 H, banyak menelan korban. Sejarawan At Thabari meriwayatkan bahwa ada sekitar 10.000 orang yang ikut di dalam pertempuran tersebut. Hal ini menjadikan fikiran bagi khalifah Utsman bin Affan sebagai penerusnya. Beliau khawatir dengan banyaknya sahabat yang meninggal dunia, maka akan semakin sedikit orang-orang yang hapal Al Qur’an
Sementara itu, agama Islam semakin meluas ke Negara-negara yang di kuasai oleg Romawi dan Persia di zaman Umar. Pada zaman Utsman bin Affan dunia Islam mengalami banya kemajuan dan perkembangan.. Mengingat wilayah penyebaran Islam sudah sedemikian luas di luar Jazairah Arab. Kebutuhan umat untuk mengkaji Al Qur’an pun semakin meningkat. Banyak ahli qira’ah dan penghapal Al Qur’an mulai terpencar dibeberapa kota dan berbagai propinsi untuk menjadi imam, seklaigus ulama, bertugas mengajar dan mendidik umat.  Dari sini, mulailah terasa adanya perbedaan bacaan Al Qur’an. Sedangkan para ahli bacaan tentu mengajarkan Al Qur’an sesuai dengan bacaan yang diberikan oleh Rasulullah Sallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.
Umat Islam yang tersebar dalam wilayah yang demikian luas itu mendapat pelajaran dan menerima bacaan Al Qur’an ( qiraat ) dari setiap sahabat yang ditugaskan di daerah. Penduduk Syiria misalnya memperoleh pelajaran  dan qiraah dari sahabat Ubay bin ka’ab ra. Penduduk Kufah, Irak, berguru kepada sahabat Abu Musa Al Asy’ary. Versi qiraah yang dimiliki dan di ajarkan oleh satiap sahabat yang ahli qira’ah itu berlainan satu sama lain. Keadaan ini ktika itu tentu saja menimbulkan dampak negative di kalangan kaum muslimin. Di antara mereka ada yang saling membanggakan versi qira’ahnya dan merendahkan yang lain. Mereka mengklaim bahwa versi qira’ahnya yang paling benar. Situasi seperti ini mencemaskan Khalifah Utsman ibn Affan. Karena itu ia segera mengundang para sahabat penghapal Al Qur’an untuk memecah permasalah tersebut. Akhirnya, dicapai kesepakatan bahwa mushaf yang ditulis pada masa Abu baker harus disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Lalu mushaf hasil salinan tersebut di kirimkan ke berbagai kota atau daerah untuk di jadikan rujukan utama kaum muslimin ketika menemui masalah dalam bacaan Al Qur’an.
Inisiatif Utsman bin Affan untuk segera membukukan dan menggandakan Al Qur’an muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah al Yamani. Kemudian Khalaifah Utsman bin Affan mengirim sepucuk surat yang isinya meminta agar Hafshah mengirim mushaf yang disimpannya untuk disalin kembali menjadi beberapa naskah. Setelah itu Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, said bin Ash dan Abdurrahman bin harits untuk bekerjasama menggandakan Al Qur’anutsman bin Affan berpesan bahwa “Jika terjadi perbedaan di antara kalian mengenai Al Qur’an, tulislah menurut dialek Quraisy, karena Al Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Setelah tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya, Khalifah Utsman bin Affan mengembalikan mushaf orisinil ( master ) kepada Hafshah. Kemudian, beberapa mushaf hasil kerja tim  tersebut di kirimkan ke berbagai kota, sementara mushaf-mushaf lainnya yang masih ada saat itu , Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan untuk segera di baker. Pembakaran mushaf ini di lakukan untuk mencegah terjadinya pertikaiandi kalangan umat karena setiap mushaf yang di baker mempunyai kekhususan. Para sahabat penulis wahyu pda masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak  terikat oleh ketentuan penulisan yang seragam dan baku, sehingga perbedaan antara koleksi seorang sahabat dan sahabat lainnya masih mungkin terjadi. Ada yang kelihatannya mencampurbaurkan antara wahyu dengan penjelasan-penjelasan dari Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam atau sahabat senior, walaupun sesungguhnya yang bersangkutan dapat mengenali dengan pasti mana ayat dan mana penjelsan ayat,  misalnya dengan membubuhi kode-kode tertentu yang mungkin hanya di ketahui oleh yang bersangkutan.
Perbedaan Antara Empat Fase Pengumpulan Al Qur’an
1. Pada masa Nabi Sallahu ‘Alaihi wa Sallam, penulisan Al Qur’an dilakukan ketika wahyu Al Qur’an di turunkan dengan menyusun urutan ayat-ayat dalam surat-surat tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi. Ayat-ayat tersebut di tulis secara terpisah pada kepingan-kepingan tulang, pelepah daun korma dsb.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar, motivasi pengumpulan Al Qur’an pada zaman ini ialah upaya memelihara Al Qur’an dari kepunahannya dengan wafatnya orang-orang yang membaca dan menghapalnya. Penulisan dilakukan untuk menghimpun dan menyalin kembali catatan-catatan Al Qur’an menjadi sebuah mushaf. Tertib suratnya menurut turunnya wahyu.
3. Pada Masa Khlaifah Umar bin Khattab, pada masa ini bisa di bilang tidak ada penulisan ulang yang di lakukan oleh Umar bin Khattab. Namun sekalipun demikian beliau sangat bertanggung jawab dalam penyimpanan Mushaf yang telah selesai di kumpulkan pada zaman Abu Bakar Ash Shiddiq.
4. Pada masa Khalifah  Utsman bin Affan ra motivasi untuk mengumpulkan Al Qur’an ialah banyaknya perbedaan bacaan Al Qur’an yang meluas ke segenap penjuru negeri dan telah mengakibatkan perselisihan sengit antar kaum muslimin. Lebih parah lagi mereka saling menyalahkan satu sama lain, maka Khlaifah khawatir adakn terjadi pertumpahan darah yang lebih besar., beliau memerintahkan untuk menhulis Al Qur’an dalam sat mushaf  dengan tertib ayat dan suratnya seperti yag ada sekarang ini. Beliau mengambil jalan tengah untuk menulis Al Qur’an dengan dialek bahas Qurasy dengan alas an bahwa Al Qur’an di turunkan dengan bahasa mereka, meskipun  tujuh bacaan ini terdiri dari beberapa bahasa.

copyright and Courtesy of Imam Hasanuddin



[1] . Kodifikasi berarti penetapan undang-undang secara tertulis ; pembukuan hukum.
[2] . Abdul Adhim Az Zurqani, Juz 1 hal. 203
[3] . Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
[4] . Yaitu sebelum kematian 70 para penghapal Al Qur’an.